Profile Facebook Twitter My Space Friendster Friendfeed You Tube
Kompas Tempo Detiknews
Google Yahoo MSN
Blue Sky Simple News Simple News R.1 Simple News R.2 Simple News R.3 Simple News R.4

About Author »

Foto Saya
Muhamad Ali Saifudin
Berbuat dan Bermanfaat
Lihat profil lengkapku »

Free File Hosting Service»

Followers

Cari Blog Ini

  • Kami Kabarkan Berita Terkini Banyuwangi,Seputar Banyuwangi, Wisata Banyuwangi, Tentang Banyuwangi and more...
  • Ingin Mengetahui Seluk dan Beluk Banyuwangi. Silahkan ketik judul dan keterangan gambar anda disini...
  • Kami Kabarkan Berita Terkini Banyuwangi,Seputar Banyuwangi, Wisata Banyuwangi, Tentang Banyuwangi and more...
  • Ingin Mengetahui Seluk dan Beluk Banyuwangi. Silahkan ketik judul dan keterangan gambar anda disini...

Jumat, 14 Mei 2010 | 19.19 | 3 Comments

Goa Istana; Tempat Semedi Bung Karno

Sering Jadi Jujugan Politisi dan Pejabat

Sebetulnya ada banyak goa di dalam areal Taman Nasional Alas Purwo. Yang terdata sekitar 40 goa. Namun hanya lima goa yang paling sering dikunjungi dan dikenal masyarakat luas. Yaitu goa Istana, Padepokan, Mayangkoro, Mangleng, dan Kucur. Selain karena lokasinya yang mudah dijangkau, keempat goa ini diyakini memiliki nilai mistis. Bahkan, mantan Presiden Soekarno, konon, pernah menjadikan goa ini sebagai tempat semedi.

Dibanding goa-goa lain, goa Istana lebih mudah dijangkau. Letaknya sekitar 67 km dari arah Kota Banyuwangi. Atau sekitar 1,5 km dari arah Pancur. Jalanan yang ditempuh pun relatif lebih bersahabat dibanding goa-goa lain. Goa yang lebarnya tak lebih dari 8 meter dengan panjang 30 meter ini, menurut Plt KTU TN Alas Purwo, Dwi Arianto SH, terbentuk karena naiknya karang akibat lempeng Eurasia terdesak oleh lempeng Indo-Australia. ''Dulu, goa Istana ini berada di dalam lautan,'' kata Dwi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya ditemukan cangkang kerang dan bebatuan karang di sekitar goa.

Di kalangan warga sekitar, goa Istana dikenal sebagai goa yang menyimpan sejumlah benda dan cerita mistis. Orang yang datang ke goa ini setiap harinya mencapai 100-300 orang. Jumlah itu semakin banyak jika mendekati tanggal 1 Suro pada kalender Jawa. Tujuan pengunjung macam-macam. Tapi, rata-rata, selain ngalab berkah agar tujuannya tercapai, para pengunjung yang datang ada juga untuk mencari benda pusaka seperti keris, batu delima, dan sebagainya. Salah satu benda pusaka yang paling dicari adalah keris Jalak Tilamsari. Pusaka sepanjang 30 cm tanpa lekukan ini, dulunya diyakini dibuat oleh Empu Andajasangkala pada tahun 1186 (Jawa). Sayang, hingga kini, tak seorang pun mengetahui keberadaan keris itu.

Ada cerita mistis dari masyarakat yang masih mempercayai klenik. Siapa yang bertapa di goa ini, dan dalam mimpinya didatangi seorang ratu, maka keinginannya bakal terkabul. Pamor dari cerita itu makin naik tatkala Bung Karno disebut-sebut sering bersemedi di goa itu. Mungkin karena cerita itu, banyak pejabat, politisi, bahkan kalangan militer sering datang ke tempat ini. Menurut cerita warga, terakhir kali pada 1 Suro lalu, seorang pejabat KPK yang namanya sangat terkenal, menginap semalaman di goa ini. Umumnya, orang-orang besar yang datang ke goa ini berharap agar jabatan yang diembannya tetap langgeng atau bahkan bisa terus naik. Calon-calon politikus juga sering datang ke tempat ini menjelang pemilu.

Setiap hari, ruangan dalam goa Istana ini dipenuhi asap dupa yang dibakar para pertapa untuk melengkapi ritualnya. Bagi pengunjung yang pernah datang, kepulan asap dupa tebal yang memenuhi lorong utama goa bukanlah pemandangan aneh dan menyeramkan lagi. Sejak ditemukan puluhan tahun lalu, gua ini diyakini sebagai tempat sakral dan lokasi terakhir bagi seseorang yang ingin mengasah dan melengkapi 'ilmu' yang mereka dapatkan selama lelaku.

Untuk mencapai goa ini, pengunjung harus melewati jalan setapak membelah hutan bambu sejauh 1,5 km dari arah Pancur. Bagi wisatawan, pergi ke goa ini sebaiknya jangan dilakukan pada saat musim hujan seperti sekarang ini. Karena jalan yang dilalui berubah sangat licin. Belum lagi tanah liat yang bercampur air hujan, membuat tanah semakin becek. Banyaknya pengunjung yang datang ke lokasi ini, mengakibatkan jalan yang lebarnya tak lebih dari satu kaki itu mirip rawa-rawa. Kedalamannya sekitar 10-20 cm. Karena itu, jika terpaksa datang di musim penghujan, pengunjung harus lebih hati-hati agar tidak terperosok.

Di depan pintu goa Istana, ada sekitar 20 undak-undakan (tangga dari semen) yang harus dilewati. Sekitar 20 meter di arah tenggara goa, terdapat sebuah pondok dari bambu. Tanpa atap. Luasnya kira-kira 2 x 2 m. Sepertinya baru dibangun. Tiga orang berbaju gamis dengan sorban di kepalanya, duduk tenang memperhatikan para pengunjung. Tak satu kata pun terucap dari bibir mereka. Masuk ke dalam goa, jangan berharap bisa melihat stalakmit maupun stalaktit seperti umumnya goa-goa. Goa Istana tak lebih dari bongkahan batu bolong. Minimnya kadar kapur, menjadikan sejumlah sumber air yang menetes dari langit-langit goa tak mencukupi untuk membuat stalakmit dan stalaktit.

Saat koran ini masuk ke bagian dalam goa, ternyata sudah ada tiga orang pertapa. Seseorang terlihat bersemedi di ujung goa dengan menghadap dinding. Mulutnya komat-kamit. Entah apa yang dia baca. Di belakangnya ada lampu teplek (botol yang diisi minyak tanah yang ujungnya diberi sumbu). Di sebelah kirinya, seorang pertapa tidur hanya beralaskan kapri (bekas tempat beras, seperti karung goni tapi terbuat dari plastik). Awak koran ini yang datang cukup berisik, sama sekali tak dihiraukan. Tampaknya dia betul-betul pulas dalam tidurnya. Di samping pintu masuk, seorang pertapa duduk mengawasi. Cerutu buatan sendiri terjepit erat di sela-sela jari tengah dan telunjuk sebelah kirinya. Sesekali asap pengepul dari bibirnya. ''Dari mana, Mas?'' tiba-tiba pertapa tadi bertanya kepada kami.

Pria yang bersemedi di pintu goa ini rupanya berbeda dengan rekan-rekannya. Dia mau berinteraksi dengan pengunjung. Sayang, pria yang mengaku dari Semarang itu tidak mau menyebut namanya. ''Sebetulnya ada empat orang dalam goa ini,'' kata dia. ''Tapi yang satu orang lagi bertapa di goa kecil itu,'' ujar pria tadi. Dia menunjuk sebuah lubang kecil ke arah depan. Setelah kami perhatikan, ternyata tidak ada lubang sama-sekali. Entah karena mata kami yang tidak bisa melihat, atau karena orang itu yang salah menunjuk.

Saat ditanya, apa tujuannya datang ke goa Istana ini, lelaki berambut gondrong itu tidak mau menjelaskan secara pasti. Yang jelas, kata dia, dirinya berada di goa Istana ini tak dibatasi waktu. ''Pokoknya, kalau sudah dapat, ya saya pulang,'' katanya. Untuk kebutuhan makan selama menjalani ritual ini, dia mengambilnya dari hutan bambu yang banyak tumbuh di sekitar gua. ''Ada juga yang turun ke desa seminggu sekali. Mereka mengumpulkan bahan makanan. Setelah terkumpul, baru kembali lagi,'' katanya.

Sudah tiga tahun lebih orang ini berada di goa Istana. Selama itu pula, sudah banyak orang yang datang dan pergi. Rata-rata, setelah apa yang mereka ingini terkabul, seketika itu juga mereka pergi. Ada juga yang datang pada bulan-bulan tertentu. Utamanya mendekati bulan Suro atau Muharram. Yang datang pada bulan tersebut didominasi para pejabat, politisi, kalangan militer, dan pengusaha. Tidak seperti layaknya pejabat, kedatangan mereka seringkali secara diam-diam. Bahkan, dari segi pakaian, kerap kali mereka meniru cara berpakaian orang-orang kebanyakan. Hanya petugas TN Alas Purwo yang mengetahui keberadaan mereka.

Mengapa tidak ada yang bermaksud memberi informasi ke media? ''Waah, itu privasi mereka, Mas. Kami tidak berani. Yang pasti, banyak orang-orang besar datang ke sini,'' ujar seorang petugas TN Alas Purwo. Tak hanya pejabat lokal Banyuwangi, pejabat dari berbagai kota-kota besar di Indonesia, bahkan pejabat istana dan politisi senayan pun sering datang ke Alas Purwo. (*)
Sumber: http://radarbanyuwangi.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=46%3Anikmatnya-liburan-di-alas-purwo&catid=45%3Apariwisata&Itemid=190

Lebih Lengkap http://muhamadalisaifudin.blogspot.com
Read More... - Goa Istana; Tempat Semedi Bung Karno

Ragam Wisata yang ada di Alas Purwo

Ragam Wisata di Alas Purwo
1. Pantai Trianggulasi
Pantai ini berpasir putih bersih. Pada bulan April-November sering digunakan sebagai tempat bertelur empat jenis penyu. Yaitu penyu belimbing, sisik, abu-abu, dan hijau.
2. Sadengan
Tempat berkumpulnya hewan-hewan lindung. Seperti banteng, kijang, burung merak, dll.
3. Pura Luhur Giri Salaka
Tempat peribadatan umat Hindu. Umat Hindu Bali sering datang ke tempat ini setiap hari raya dalam kalender Hindu.
4. Ngagelan
Tempat penetasan dan penangkaran penyu. Dari tujuh jenis penyu di dunia, enam jenis penyu terdapat di Indonesia. Empat diantaranya; belimbing, sisik, abu-abu, dan hijau, sering bertelur di Alas Purwo.
5. Cunggur
Daerah konsentrasi burung migran asal Australia. Burung ini bermigrasi di musim dingin menuju Asia untuk mencari makan.
6. Bedul
Hutan magrove yang mensuri pantai Segoro Anakan ini, diklaim terbesar se-Asia. Banyak jenis burung di tempat ini. Antara lain bangau, pecuk ular, trinil, raja udang, pelikan, dll.
7. Pancur
Sungai yang mengalir ke laut dari pantai yang agak terjal sepanjang tahun. Pancur juga menjadi pintu masuk ke goa-goa dan areal surving G-Land alias Plengkung. Di sini juga terdapat masjid, penginapan, dan warung-warung makan.
8. Goa Istana
Tempat semedi selain goa Padepokan, Mayangkoro, Mangleng, dan Kucur
9. Plengkung
Turis mancanegara lebih sering menyebut G-land. Mungkin karena pantainya membentuk huruf G. Lokasi surving ini memiliki ombak tertinggi No 2 di Dunia setelah Hawaii. Ombak tertinggi terjadi pada bulan April-Agustus.
10. Tanjung Sembulungan
Panorama pegunungan dan hutan yang berbatasan dengan laut Muncar. Juga terdapat tebing-tebing karang yang eksotik.
11. Makam Gandrung
Tempat ini sering dijadikan lokasi selamatan nelayan Muncar. Biasanya pada setiap tanggal 15 Suro, dilakukan upacara petik laut dengan melarung aneka jenis sesaji.
12. Kayu Aking
Merupakan wilayah pantai berpasir putih seluas 12 km di sepanjang bibir pantai. Letaknya berbatasan langsung dengan Selat Bali. Radar Banyuwangi
Sumber: http://radarbanyuwangi.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=46%3Anikmatnya-liburan-di-alas-purwo&catid=45%3Apariwisata&Itemid=190

Kunjungi Juga http://muhamadalisaifudin.blogspot.com
Read More... - Ragam Wisata yang ada di Alas Purwo

Liburan di Taman Nasional Alas Purwo

Nikmatnya Liburan di Alas Purwo

Mendengar nama Alas Purwo, selalu terbayang sebagai kawasan angker, wingit, bahkan medeni. Itu karena Alas Purwo memang dikenal sebagai hutan hujan paling alami di Indonesia, bahkan mungkin Asia. Di situ juga terdapat beberapa tempat yang dianggap kramat, sakral, dan menyimpan daya magis tinggi. Seperti di goa Istana, goa Padepokan, goa Mayangkoro. Konon, di tempat tersebut presiden pertama RI, Ir Soekarno, pernah bertapa.

Apalagi, saat memasuki kawasan tersebut, pengunjung akan dikejutkan dengan tulisan berbahasa Indonesia; Alam itu pasrah kepadamu. Sebuah pesan yang bermakna sangat mendalam. Bahwa, kerusakan alam lebih disebabkan ulah tangan manusia. Mitos yang hingga kini masih berkembang di masyarakat; siapapun yang mengambil tumbuhan atau hewan di Alas Purwo, akan berakibat fatal di kemudian hari. Mungkin karena itu, di resort Rowobendo, pintu masuk ke Alas Purwo, tertulis pesan; Jangan tinggalkan apapun, kecuali telapak kaki. Dan jangan mengambil apapun, kecuali foto.

Sejatinya, pesan tersebut bukan karena anggapan Alas Purwo masih angker. Namun lebih untuk menjaga kelestarian hutan yang ditetapkan sebagai Taman Nasional pada awal 1990-an itu. Selain wisata religius, Alas Purwo sendiri sebetulnya menyimpan ragam obyek wisata menarik. Tak cuma pepohonan rindang yang berumur ratusan tahun dengan hewan-hewan langka yang dapat dijumpai di sepanjang perjalanan, juga terhampar puluhan kilometer pantai berpasir putih bersih. Cerita-cerita kuno yang ada di komik dan film-film tentang orang-orang yang melepas kehidupan duniawi, juga dapat dijumpai di hutan seluas 43.420 ha itu.

Ada dua alternatif rute untuk mencapai kawasan ini. Pertama dari arah Banyuwangi ke Kalipahit lewat Muncar. Jaraknya sekitar 59 km. Atau kira-kira 120 menit perjalanan kendaraan bermotor. Dari Kalipait menuju Pasaranyar (3 km), kemudian ke pos Rowobendo (10 km). Rute kedua dari Jember menuju Benculuk (80 km), kemudian langsung ke Kalipait (20 km). Biasanya, setelah beristirahat sejenak di pos Rowobendo, pengunjung melanjutkan perjalanan ke tempat-tempat wisata yang ada di dalam taman nasional.

Jika lebih dulu pergi ke arah Trianggulasi, Pancur, Sadengan, atau Plengkung, di samping kiri kendaraan akan terlihat bangunan mirip candi di Jawa Tengah. Itu adalah Pura Luhur Giri Salaka. Tempat peribadatan umat Hindu Bali dan Banyuwangi untuk merayakan upacara Pagerwesi setiap 210 hari sekali. Masyarakat yang tinggal di sekitar Alas Purwo ini mayoritas berasal dari Jawa Tradisional. Mereka adalah pendatang dari Jawa (Mataraman). Karena itu, tradisi kejawen seperti yang kerap dilakukan umat Hindu, yakni bertapa atau bersemedi, masih sering dilakukan masyarakat di sini. Pada hari-hari tertentu seperti malam 1 Suro, bulan purnama, atau bulan mati, masyarakat Hindu Bali dan ahli kebatinan Jawa sengaja datang ke taman nasional ini untuk meditasi atau melaksanakan upacara religius.

Berkunjung ke Alas Purwo memang kurang lengkap jika hanya 'menikmati' sisi mistiknya saja. Tetapi juga harus menyempatkan diri pergi ke tempat-tempat seperti Bedul. Bedul yang tak lain segoro anakan ini sangat potensial dikembangkan sebagai kawasan wisata bahari. Kawasan ini didukung hutan mangrove yang masih utuh sebagai breeding area dan nesting area beberapa jenis burung air (bangau tong tong, pecuk ular, trinil, raja udang, pelikan trinil, dll). Selain itu, Bedul juga menjadi salah satu tempat yang digunakan masyarakat sekitar untuk mencari kerang, udang, kepiting, dan ikan. Penangkapan yang dilakukan dengan alat-alat tradisional, terkadang justru menjadi daya tarik sebagai salah satu atraksi wisata Bedul.

Puas di Bedul, sebaiknya kembali lagi ke Rowobendo, lalu putar kanan ke arah Sadengan. Jaraknya kira-kira 2,5 km atau 15 menit kendaraan bermotor. Di tempat penggembalaan buatan seluas 80 ha ini, terdapat menara pengintai atau watching tower. Dari situ, bisa dilihat aneka satwa liar seperti banteng, kijang, rusa, kancil, dan babi hutan, bahkan sesekali terlihat burung merak. Dari atas ketinggian watching tower yang terbuat dari kayu itu, wisatawan bisa menikmati atraksi beragam hewan yang sedang merumput.

Menurut Plt KTU TN Alas Puro, Dwi Ariyanto SH, pengamatan aneka satwa paling baik adalah antara pukul 06.00 sampai 09.00 di pagi hari, atau pukul 10.00 hingga 18.00 di sore hari. ''Kalau siang hari biasanya akan masuk ke hutan. Mencari tempat yang lebih teduh,'' ujarnya.

Diantara sekian banyak tempat-tempat wisata di Alas Puwo ini, hanya satu tempat yang paling dikenal turis manca negara. Kawasan itu adalah Plengkung atau lebih dikenal para bule dengan sebutan G-Land. Hutan pantai ini sudah lama menjadi surga bagi peselancar profesional mancanegara. Ombaknya yang sangat besar, menjadi pantai ini sering mendapat julukan fantastis yang diberikan oleh para peselancar dunia. Para penggila gulungan ombak asal Jepang, misalnya menjuluki pantai ini The Seven Giant Wave Wonder. Karena kerap ditemui ombak raksasa datang susul menyusul sebanyak tujuh lapis.

Sebutan itu sebenarnya tidak terlalu berlebihan. Sebab, panjang gelombang di pantai ini mencapai dua km dengan tinggi empat sampai enam meter dalam interval lima menit. Oleh karena itu, kerap digunakan sebagai lokasi kompetisi surving internasional. Menurut petugas Taman Nasional Alas Purwo, selain di Plengkung, cuma Hawaii, Australia, dan Afrika Selatan saja yang memiliki ombak dasyat seperti itu. ''Ombak di Plengkung ini nomor dua setelah Hawaii,'' kata Dwi. Hawaii tetap menjadi nomor satu karena ombaknya terjadi terus menerus sepanjang tahun. ''Puncak ombak di Plengkung hanya pada bulan-bulan tertentu. Antara April hingga Agustus,'' tambah pria yang menyukai fotografi dan desain grafis itu.

Peselancar dari Amerika menyebut Plengkung sebagai G-Land. Ada yang mengatakan, G-Land ini singkatan dari pelabuhan Grajagan. Pelabuhan ini merupakan tempat berlabuhnya kapal-kapal yang dipakai para turis untuk mencapai Plengkung. Sebutan G-land juga berarti karena Plengkung yang berada di Teluk Grajagan menyerupai huruf G. Atau bisa juga diartikan karena letak Plengkung berada tidak jauh dari hamparan hutan hujan tropis yang terlihat selalu hijau atau Green Land.

Tingginya ombak di Plengkung ini memang sangat berbahaya bagi peselancar pemula. Namun, mereka tak perlu cemas. Pemandangan alam kawasan ini memang sangat eksotik. Hamparan pantai berpasir putih yang diselimuti kawasan hutan yang masih alami, jauh dari kebisingan kawasan perkotaan, tak ada sinyal handphone, tak ada lalu lalang kendaraan, tak ada PKL, dan tak terjangkau jaringan televisi, menjadikannya tempat ini sebagai kawasan paling ideal untuk 'sembunyi' dari peradaban. Tak heran, di kawasan ini sering menjadi tempat pelarian penjahat kelas kakap dunia. ''Dulu, sekitar akhir 1990-an, ada penjahat dari Amerika ditangkap. Pengakuanya, dia sudah berada di Alas Purwo sejak pertengahan 1980-an,'' ujar Dwi, yang juga salah seorang penyusun buku Informasi Balai Taman Nasional Alas Purwo itu.

Karena itu, pihaknya kini lebih selektif dalam menerima tamu. ''Selain identitasnya kami data secara rinci, wisatawan yang datang kemari juga kami tanyakan apa keperluannya datang ke Alas Puwo. Itu juga berlaku bagi mereka yang melakukan kegiatan religius seperti bersemedi atau bertapa,'' tambah Dwi. (*) Radar Banyuwangi
Sumber: http://radarbanyuwangi.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=46%3Anikmatnya-liburan-di-alas-purwo&catid=45%3Apariwisata&Itemid=190

Kunjungi Juga http://muhamadalisaifudin.blogspot.com
Read More... - Liburan di Taman Nasional Alas Purwo

Desa Wisata Mangrove di Bloksolo Bedul Alas Purwo

Perjalanan Melihat Persiapan Desa Wisata Mangrove di Bloksolo
Mesin Mogok, Perahu Nyaris Tenggelam Dihantam Ombak

Mempersiapkan Desa Wisata Mangrove ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Para guide (pemandu wisata) tidak hanya diwajibkan menguasai Bahasa Inggris. Mereka juga harus siap lahir batin menghadapi situasi genting dimainkan ombak besar.

Siang itu, Dewi Fortuna rupanya tidak berpihak kepada rombongan kami. Meski semuanya sudah siap di atas gethek, namun mesin tidak bisa berbunyi hingga 30 menit. Sebagian penumpang sempat panik. Ada juga yang sudah pasrah dan berdoa. Okto mencoba mengambil inisiatif membuat tebak-tebakan, sekadar untuk menghilangkan kepanikan. Sedangkan Pak Usman yang jadi nakhoda perahu, tampak bekerja keras berusaha menghidupkan mesin.

Sayangnya, mesin perahu tidak bisa hidup. Malah, mesin tersebut mengeluarkan asap dan percikan api. Kami pun berusaha untuk tidak panik. Setelah didiamkan selama beberapa saat, mesin dicoba untuk dihidupkan kembali. Akhirnya mesin gethek bisa hidup.

Kami semua spontan bertepuk tangan. Saya pun bisa tersenyum kembali dan langsung mengucapkan syukur.

Perahu berputar haluan, dan melanjutkan perjalanan kembali. Selama perjalanan, selain menikmati pemandangan mangrove, kami juga melihat burung Elang laut perut putih (Haliaeetus Leucogaster). Burung itu tampak santai terbang berputar-putar di atas rombongan kami.

Tidak hanya itu, kami juga menyaksikan para nelayan mencari kerang dengan peralatan yang sederhana. Mereka melambaikan tangan, ketika perahu kami melewati mereka. Ombak pun semakin besar, perahu yang kita naiki nyaris terhempas ombak. Tangan kami saling berpegangan. Karena memang tidak ada yang menggunakan pelampung dan tidak semuanya bisa berenang.

Sri, salah satu pemandu wisata langsung menangis histeris. Raut wajahnya langsung memerah. Air matanya langsung berlinang di pipi. ''Saya tidak mau lagi,'' katanya sambil menutup wajah.

Setelah semuanya normal, perahu berlabuh seperti biasanya. Dan akhirnya, kami pun sampai di pantai wisata Bedul. Setibanya di sana, kami berjalan kaki untuk sampai di desa wisata. Air pasang setinggi lutut orang dewasa, kita pun berjalan dengan sangat hati-hati. Akhirnya, kita kembali ke Dusun Bloksolo, Desa Sumberasri.

Shofa, seorang pengangguran yang lulus menjadi pemandu wisata mengaku, selama terpilih dan mengikuti training, dia mendapatkan banyak pengalaman. Sebelumnya, dia belum mengerti apa itu mangrove. Kini, dirinya bisa menguasai tentang pohon bakau dengan berpedoman buku panduan. ''Saya bersyukur bisa lulus menjadi pemandu,'' kata lelaki alumnus MAN 1 Jember ini.

Eny, seorang guru SDN di Desa Sumberasri mengatakan, dirinya memiliki segudang pengalaman baru. Dia bisa menambah pengalaman mengenai mangrove. ''Kalau bukan kita-kita, siapa lagi yang akan melestarikan tanaman mangrove ini,'' ujar lulusan D2 Universitas Negeri Jember ini.

Staf JICA, Oktovina mengatakan, program sub sektoral itu membangun lima lokasi yang disebut model pengelolaan mangrove. Selama ini, Indonesia memiliki kawasan mangrove yang sangat luas dan bagus. Namun, banyak hutan bakau yang tidak dikelola dengan baik.

Beberapa pusat bakau misalnya di Kendari (Sulawesi), Alas Purwo (Jawa ), Banjar (Kalimantan), Lampung (Sumatera) dan Bipolo (Nusa Tenggara Timur). Di setiap kawasan mangove itu memiliki kekhasan pembangunan desa wisatanya.

Oktovina menambahkan, JICA kini sedang menyiapkan sumber daya manusia (SDM) saja. Apabila desa wisata mangrove sudah siap, pemandunya juga sudah siap. Tugas kami di sini adalah membangun SDM, dengan mengajarkan berbagai hal seperti pelatihan pelatihan wisata mangrove, Bahasa Inggris, dan bagaimana menjadi pemandu. ''Karena selama ini, mereka masih belum berpengalaman. Target kami untuk menyiapkan SDM selama enam bulan,'' pungkasnya.

Sementara itu, Kepala Desa (Kades) Sumberasri, Suyatno mengatakan, berbagai persiapan telah dilakukan untuk desa wisata mangrove ini. Masalah anggaran termasuk yang paling penting. Anggaran untuk jalan desa disiapkan sebesar Rp 1,2 miliar. Ada juga anggaran untuk kolam pancing dan lainnya sebesar Rp 500 juta. ''Saat ini masih proses persiapan saja. Kami masih konsentrasi di pengembangan SDM untuk menjadi pemandu,'' pungkasnya. (bay/habis)Radar Banyuwangi
Sumber: http://jawapos.com/Radar Banyuwangi

Kunjungi Juga http://muhamadalisaifudin.blogspot.com
Read More... - Desa Wisata Mangrove di Bloksolo Bedul Alas Purwo

Kaya Motif, Batik Banyuwangi Belum Dipatenkan

BANYUWANGI-Tak banyak warga yang tahu, bahwa sejatinya Banyuwangi merupakan salah satu daerah asal batik di Nusantara. Banyak motif asli batik khas Bumi Blambangan. Namun hingga sekarang, baru 21 jenis motif batik asli Banyuwangi yang diakui secara nasional.

Tren penggunaan motif batik pada pakaian mulai meningkat akhir-akhir. Gairah perkembangan bisnis batik kembali terasa menggeliat di Banyuwangi.

Dulunya, baju batik lebih banyak dikenakan pada acara resmi. Misalnya acara resepsi atau kegiatan resmi lainnya. Namun saat ini, batik sudah banyak dipakai untuk tren baju sehari-hari. Mulai seragam sekolah dan baju kerja karyawan perkantoran, motif pelengkap kerudung, baju casual hingga busana muslim untuk acara santai.

Meski sudah menjadi pakaian sehari-hari, warga Kota Gandrung banyak yang tidak tahu bahwa batik sebenarnya sudah lama berkembang di Banyuwangi. Bahkan, batik sudah ada sejak zaman kerajaan Blambangan. "Batik Banyuwangi itu memiliki khas tersendiri," ujar HM Suyadi, salah satu pengusaha batik Banyuwangi.

Bos galeri batik Virdes di Kecamatan Cluring itu mengungkapkan, Banyuwangi sebenarnya termasuk daerah asal batik. Karena minimnya perajin, akhirnya batik Banyuwangi kalau jauh dengan daerah lain di Jawa Tengah dan Jogjakarta. "Biasanya kalau bicara batik, bayangan kita itu pasti langsung ke Jogja, Solo, atau Pekalongan," katanya.

Sebagai salah satu daerah asal batik, Banyuwangi memiliki banyak motif. Di museum batik, Banyuwangi tercatat punya 21 jenis motif batik yang jadi ciri khas Banyuwangi. "Sebenarnya masih banyak, tapi yang diakui 21 motif batik itu," ujarnya.

Di antara 21 motif batik yang kini banyak digandrungi warga Blambangan, di antaranya ada motif gajah uling, paras gempal, kangkung setingkes, sembruk cacing, gedegan, ukel, blarak semplah, dan moto pitik. "Nama motif ini khas Banyuwangi, ini menunjukkan batik asli Banyuwangi" jelasnya.

Selama ini, kata Suyadi, ada anggapan yang salah kalau gajah oling itu batik khas Banyuwangi. Padahal yang benar, gajah uling hanya salah satu dari sekian banyak nama motif batik khas Banyuwangi. "Semua motif dari batik Banyuwangi itu diciptakan oleh nenek moyang Banyuwangi sendiri," paparnya.

Dalam penciptaannya, motif batik Banyuwangi ternyata banyak dipengaruhi oleh kondisi alam. Gajah uling yang cukup dikenal itu, motifnya berupa hewan seperti belut yang ukurannya cukup besar. "Motif sembruk cacing juga kayak cacing, dan motif gedegan juga kayak gedeg (anyaman bambu)," bebernya.

Bagi Suyadi, penciptaan motif batik Banyuwangi merupakan bentuk karya seni yang cukup tinggi. Semua motif itu diambilkan dari kekayaan alam Banyuwangi yang beraneka ragam. "Jadi motif batik ini warisan nenek moyang itu bernilai seni yang harus dipertahankan," cetusnya.

Motif batik seperti di Banyuwangi ini, tidak akan bisa ditemukan di daerah lain. Karena batik dengan motif ini, sudah menjadi identitas dari batik khas Banyuwangi. "Untuk menghindari pembajakan, pemerintah harusnya mempatenkan motif batik Banyuwangi ini," harapnya.(abi/bay)Radar Banyuwangi
Sumber: http://www.jawapos.com/Radar Banyuwangi
Info Lengkap http://muhamadalisaifudin.blogspot.com
Read More... - Kaya Motif, Batik Banyuwangi Belum Dipatenkan

Duren Merah Langka dari Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi

Rasanya Lebih Legit, Seperti Rasa Duren Dengan Susu

Buah durian berwarna kuning memang sudah biasa. Tetapi ada durian merah atau yang disebut durian Siwayut di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah. Durian jenis ini juga ada di Kecamatan Songgon. Apa istimewanya?

ADA sebuah gang yang bernama Duren Abang di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Nama gang itu memang unik, karena asal nama gang itu berasal dari duren abang (durian merah). Di ujung gang itu terdapat rumah Serad, 70, si pemilik pohon durian langka yang biasa disebut durian siwayut itu.

Menurut Serad, asal kata siwayut tersebut berasal dari zaman nenek moyangnya. Dalam bahasa Using, siwayut artinya adalah warisan buyut atau warisan nenek moyang. Sedangkan warga sekitar menyebut, asal usul nama gang tersebut berasal dari sebuah pohon durian yang menghasilkan buah durian merah. Pohon itu hingga sekarang masih berada di pekarangan belakang rumah Serad.

Diameter pohon durian merah itu berukuran besar. Ukurannya hampir sama dengan pelukan tiga orang dewasa ini. Tinggi pohon itu sekitar 50 meter. Berdasarkan cerita warga sekitar, pohon ini merupakan wit babon (pohon induk) dari pohon-pohon durian merah yang ada di Banyuwangi.

Menurut Serad, usia pohon ini sudah mencapai sekitar 310 tahun. Kapan awal kehidupannya, Serad mengaku tidak tahu menahu. Yang jelas, pohon itu telah ada sejak dia lahir. Bahkan, sudah ada sejak masa neneknya masih kecil. "Pohon itu warisan turun temurun. Sehingga saya dan keturunan kami tidak boleh menebangnya," ujarnya.

Serad mengatakan, pohon itu merupakan pohon induk dari pohon-pohon durian merah yang sekarang ini banyak terdapat di Banyuwangi. Perbedaannya terlihat pada warna dan rasa buahnya. Buah durian merah yang dihasilkan oleh pohon induk tersebut, warnanya merah tua, sementara dari pohon anakan, yaitu pohon hasil peranakan pohon induk tersebut, warna daging buahnya adalah merah muda. Rasanya pun berbeda.

Serad mengatakan, rasa durian siwayut dari pohon induk lebih legit dan lebih kental. Rasanya seperti durian bercampur susu. Sementara rasa durian siwayut dari pohon anakan tidak selegit yang asli. "Kandungan alkoholnya pun berbeda. Durian dari pohon induk, kadar alkoholnya lebih terasa," tutur bapak dua anak tersebut.

Meski begitu, ternyata durian siwayut memiliki banyak manfaat. Hal ini berdasarkan pengakuan Serad sendiri serta beberapa warga yang memang pernah merasakan khasiat durian ini. "Khasiat utamanya bisa menambah vitalitas kaum lelaki," ujar Maksum, salah seorang tetangga.

Serad mengatakan, karena masih terbatas keberadaannya, durian yang satu ini selalu menjadi rebutan. Tidak hanya masyarakat Banyuwangi, masyarakat dari luar kota pun sering berkunjung ke rumahnya dengan tujuan untuk memesan durian tersebut. Bahkan, ada pelanggan tetapnya yang berasal dari Kalimantan, yang secara rutin menyambangi rumahnya setiap tahun untuk merasakan durian siwayut tersebut.

Gara-gara duren siwayut miliknya, Serad juga sampai mendapat kunjungan oleh Imam Utomo, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur. Tidak hanya itu, pengalaman menarik juga muncul karena durian tersebut. Karena penasaran dengan rasa dan penampilan durian siwayut ini, istri Purnomo Sidiq, mantan Bupati Banyuwangi, sampai menunggui dengan sabar proses jatuhnya durian tersebut dari pohonnya. Namun, meski sudah ditunggu, buah durian tersebut tidak jatuh-jatuh. Sehingga membuat istri Purnomo tertidur di gazebo yang memang disediakan Serad di dekat pohon duriannya. "Padahal menunggunya dari pagi hingga sore, namun tidak ada satu pun buah yang jatuh," ujar suami Saudah ini.

Serad mengatakan, sekali berbuah, pohon induk siwayut bisa menghasilkan sekitar 300 buah. Hanya, waktu berbuahnya tidak menentu. Tidak seperti pohon durian yang lain, pohon durian ini justru memiliki jadwal yang tidak tetap. Tapi bisa dipastikan, pohon ini hanya bisa berbuah satu kali dalam setahun. Uniknya, buah durian siwayut ini berukuran sedang, dan cenderung seragam. "Buahnya tidak pernah lebih besar dari ukuran normalnya," tuturnya.

Perbedaan durian yang satu ini dengan durian lain, adalah dari baunya. Karena baunya sangat kuat, sehingga bisa bertahan hingga beberapa hari meski duriannya sudah dipindahkan.

Meski dibilang langka, Serad mengaku tidak pernah mematok harga khusus untuk duren miliknya ini. Memang, selama ini duren serupa dijual seharga Rp 50 ribu. Namun, dia tidak mengaku tergiur dengan harga mahal tersebut. Saat ada orang yang membeli duriannya, dia rela dibayar sesuai dengan kemampuan si pembeli. Makanya, dia juga pernah hanya dibayar Rp 10 ribu untuk satu buah durian langka tersebut. Alasannya sangat sederhana, karena dengan harga murah, siapa pun bisa menikmati durian tersebut, dan tidak hanya kaum berduit. "Mosok bongso lan warga isun dewek heng biso mangan duren asli daerah kene? (Masak bangsa dan warga Kemiren sendiri malah tidak bisa menikmati durian asli daerah mereka sendiri?)," ujarnya.

Karena waktu berbuahnya yang tidak menentu, banyak orang yang ingin memesan terlebih dahulu dengan memberi uang muka, bahkan sebelum pohon tersebut berbuah. Namun Serad tidak pernah menyetujuinya. Karena berdasarkan pengalamannya, saat ada orang yang sudah memesan dan membayar uang muka terlebih dahulu, maka buahnya justru tidak mau jatuh dari pohon. Hal itu sudah terbukti beberapa kali. Sehingga, apabila ada orang yang memesan, dia akan menolaknya, dan menganjurkan orang tersebut datang ke rumahnya saat duren siwayut miliknya sudah mulai panen. "Kalau berjodoh, pasti akan bisa menikmati duren merah tersebut," tandasnya.(bay)
Sumber: http://www.jawapos.co.id/rada
Read More... - Duren Merah Langka dari Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi

Wisata Bedul Segoro Anakan

Wisata Bedul; Dulu dan Kini

Anda ingin menjadi Petualang Pemula? Jawabnya ya ke Wana Wisata Bedul. Tapi bari para pelancong atawa Wisatawan yang pernah ke Wisata Bedul mungkin sedikit kaget atau shock karena Wisata Bedul yang Dulu dan Kini sudah berubah 180 derajat atau lebih dari 360 derajat. Karena Saat ini Wisata Bedul menduduki ranking pertama kunjungan Wisata di Wilayah Banyuwangi *) menurut ana dan lisa dari penulis sih.

Coba bandingkan Foto Wisata Bedul ketika Penulis datang ke Wisata Bedul pada 2 Mei 2007 dengan Foto Wisata Bedul saat Penulis berkunjung pada Minggu 9 Mei 2010 begitu sangat berbeda. Salut buat pengelola Eko Wisata Bedul.Semoga tetap kompak menjaga dan mengelola serta melestarikan Eko Wisata Bedul sebgai salah satu ikon Wisata Alam Hutan serta Bahari di Banyuwangi.
Read More... - Wisata Bedul Segoro Anakan
 

Poll

Poll

Pengikut

Copyright © 2010 - All right reserved | Template design by Herdiansyah Hamzah | Published by Jurnalborneo.com
Proudly powered by Blogger.com | Best view on mozilla, internet explore, google crome and opera.